Slide 1
Slide 2
Slide 3
Slide 4

Tentang Cinta dalam pendekatan Psikologi dan Neurosains

 


Kapan harus Jatuh Cinta ?!


Cinta itu bukan permen karet yang bisa dikunyah siapa saja saat bosan. Bukan juga pelarian dari kesepian yang tidak pernah ditangani. Cinta-kalau benar cinta-adalah keputusan sadar, bukan sekadar deg-degan. Dan pernikahan adalah level cinta yang paling serius, bukan akhir cerita, tapi awal tanggung jawab.


Pertanyaan "kapan aku harus jatuh cinta?" bukan pertanyaan remeh. la terdengar sederhana, tapi jawabannya menuntut kedewasaan. Karena pada kenyataannya, banyak orang terjatuh dalam cinta, tapi tidak benar-benar siap untuk mencintai. Dan banyak orang menikah, hanya karena sudah waktunya menurut omongan tetangga, padahal jiwanya masih belum selesai.


Psikologi perkembangan mengajarkan bahwa cinta yang sehat hanya bisa lahir dari pribadi yang matang. Orang yang belum selesai mengenali dan menerima dirinya sendiri, biasanya akan mencintai karena "butuh disembuhkan", bukan karena siap memberi ruang aman. Dan cinta yang lahir dari luka yang belum sembuh, lebih sering menuntut daripada memberi. la ingin dimengerti tapi tidak bisa mengerti. la ingin diterima, tapi belum menerima dirinya sendiri.


Dalam tahap-tahap perkembangan manusia, Erik Erikson menyebutkan bahwa seseorang tidak bisa mencapai fase cinta yang sehat (intimacy) sebelum berhasil melewati fase sebelumnya, yaitu identitas diri (identity). Artinya, kita harus lebih dulu selesai dengan pertanyaan: "Siapa aku?", "Apa nilainya aku?", "Apa prinsip hidupku?", dan "Apa tujuanku di dunia ini?" sebelum bertanya: "Siapa yang akan mencintaiku?"


Karena jika tidak, cinta hanya akan menjadi alat pelarian. Kita mencintai orang lain dengan harapan orang itu bisa menambal lubang dalam diri kita yang belum pernah kita isi sendiri. Padahal, mencintai bukan tentang menemukan seseorang yang mengisi kekosonganmu. Tapi tentang membagikan kepenuhan yang sudah ada didalam dirimu. Bukan untuk menjadikan pasangan agar menjadi pelengkap dari sesuatu hal yang hilang dalam diri, tetapi untuk hadir sebagai seseorang yang siap memberi-bukan sekadar menuntut dipenuhi.


Hanya orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri yang bisa mencintai seperti itu. la tidak akan marah jika pasangannya sedang tidak sempurna, karena ia tahu bahwa ia pun manusia biasa. la tidak akan panik jika sedang ditinggal, karena ia tahu bahwa dirinya tetap utuh walau sendiri. la tidak akan menggantungkan kebahagiaannya pada orang lain, karena ia sudah menemukan sumber bahagia dari dalam dirinya sendiri.


Jika kamu harus memantaskan diri, maka pantaskanlah dirimu untuk mendapatkan dirimu sendiri dalam versi utuh (seperti dalam penjelasan di atas), bukan memantaskan diri untuk mendapatkan seseorang yang melengkapi kekosongan dalam dirimu.


Filsafat eksistensial menyoroti bahwa cinta sejati bukanlah tentang menemukan seseorang yang menyelamatkanmu dari kehampaan, tetapi tentang bertemu seseorang yang menyadari absurditas hidup bersamamu, dan tetap memilih untuk berjalan bersama. Dalam pemikiran para filsuf, cinta menjadi bermakna saat seseorang sudah menyadari makna hidupnya sendiri terlebih dahulu. Tanpa makna personal, cinta akan dikira sebagai tujuan, padahal cinta hanyalah media, bukan makna akhir.


Mereka yang belum punya arah hidup akan menjadikan cinta sebagai pengalih arah. Tapi mereka yang sudah menemukan "mengapa"-nya akan bisa melalui segala "bagaimana"-nya, termasuk bagaimana mencintai dengan benar. Cinta bukan pelarian eksistensial, tapi proyek eksistensial. la tidak muncul dari kehampaan, tapi dari makna yang melimpah.


Neurosains menambahkan satu hal penting: Perasaan cinta pada awalnya bukan sesuatu yang dalam. la hanyalah efek kimia dari dopamin, serotonin, dan oksitosin. Sensasinya memang memabukkan. Tapi efek ini bersifat entara-beberapa bulan saja. Setelah itu, yang tersisa hanyalah realita: perbedaan karakter, tuntutan hidup, konflik, dan kebosanan.


Jadi kalau kamu mencintai hanya karena efek hormon, kamu hanya mencintai fase dopamin, bukan orangnya. Kalau kamu menikah hanya karena perasaan manis di awal, maka kamu sedang membangun rumah di atas pasir: begitu angin datang, runtuhlah semua. Jika perasaanmu lebih mirip kegelisahan yang tak terkendali daripada kedamaian yang mendalam, mungkin itu bukan cinta, melainkan ketergantungan emosional.


Maka cinta yang tahan lama, menurut para ahli otak dan perilaku, adalah cinta yang dibangun di atas komitmen dan keputusan sadar. Bukan cinta karena "aku butuh kamu", tapi "aku memilih kamu, bahkan saat aku tidak butuh apa-apa."


Lalu kapan aku harus menikah? Pertanyaan ini makin tajam jika kita memahami peringatan Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin. Beliau menyebutkan bahwa ada tiga risiko besar yang akan menimpa seseorang jika ia menikah dalam kondisi belum siap.


Pertama, tidak mampu mencari nafkah yang halal. Ini bukan perkara rezeki semata, tapi tanggung jawab spiritual. Kalau seseorang menikah tapi penghasilannya masih dari yg haram, maka bukan hanya dirinya, tapi pasangan dan anak-anaknya akan memakan yang haram. Betapa banyak orang masuk neraka bukan karena kurang ibadah, tapi karena uang haram yang keluarganya kunyah.


Kedua, tidak bisa bertanggung jawab dan tidak mampu menghadapi karakter pasangan. Ini adalah ujian yang nyata dari cinta. Karena cinta sejati tidak diuji di saat semuanya manis, tapi di saat pasanganmu tidak seperti yang kamu harapkan. 


Jika kamu belum selesai dengan dirimu sendiri, seperti yang dijelaskan dalam psikologi perkembangan, maka kamu akan melihat ketidaksempurnaan pasanganmu sebagai ancaman, bukan kenyataan yang harus diolah agar menjadi pahala.


Ketiga, terlalu sibuk dengan dunia hingga lupa Tuhan-Nya. Ini halus tapi mengancam. Banyak orang setelah menikah, semakin jauh dan lalai dari Allah Ta'ala.


Jadi, pertanyaannya bukan cuma "kapan harus menikah?", tapi: Sudahkah aku selamat dari tiga risiko itu? Kalau belum, maka cinta itu belum waktunya tumbuh. Tapi jika sudah, maka mungkin... mungkin kamu sudah siap jatuh cinta dan menikah.. :)


Demikian tulisan ini dibuat jadi pengingat diri dan pembaca agar tak salah menumbuhkan cinta dan mudah saja jatuh cinta pada orang yang salah, dari orang yang diharapkan cintanya dapat menyembuhkan luka, malah menambah-nambah perihnya, dan juga sebagai pengingat agar tak ada cinta melebihi cinta pada-Nya, karena terkadang kita lupa, ada sesuatu yang lebih di cintai dari pada-Nya.


Semoga Bermanfaat, 

Ns. Dwi Andika Fahri

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama